Ayah.
Sebenarnya aku ingin bercerita banyak tentang Ayahku. Tapi ketika aku membuka laptop dan memulai untuk mengetik, pikiran ini tiba-tiba blank. Harus mulai darimana? Kenapa harus bercerita tentang Ayah? Apa spesialnya Ayahku? Dari berbagai pertanyaan yang berdengung di pikiran itu aku akhirnya tahu harus bagaimana memulainya.
Ayahku aku panggil dengan sebutan Papa. Selama ini aku tidak pernah memperlakukan papaku dengan spesial. Tidak seperti kepada mama yang selalu aku rindukan kehadirannya, selalu aku tangisi bila kudengar ia sakit, kuingat hari lahirnya dan memberikan hadiah atau pun sekedar ucapan selamat hari Ibu agar ia tahu betapa pentingnya ia dalam hidupku. Disisi lain, kepada papaku? Jangankan memberikan hadiah atau ucapan, aku bahkan sampai saat ini tidak pernah ingat hari lahirnya. Bicara padanya pun aku jarang (enggan). Bukan karena aku benci atau tidak suka. Hanya saja aku lebih suka bicara dengan mama. Berjam-jam bicara di telepon dengan mama tidak pernah membuatku puas, saat berganti bicara dengan papa satu menit aku sudah merasa bingung harus bicara apa lagi. Maafkan aku, Pa.
Aku memang belum menyadari betapa luar biasa sayangnya papa kepadaku. Mungkin bukan belum sadar, tapi aku mengacuhkannya. Tanpa kusadari aku mungkin menyakiti perasaannya. Mungkin saja ketika melihatku menunjukkan sayangku kepada mama, dalam lubuk terdalamnya papa juga ingin diperlakukan begitu. Mungkin dan mungkin. Sekali lagi bukannya aku benci atau tidak suka, aku hanya …. yah begitulah sulit mengungkapkannya. Papa juga begitu, bukan seorang Ayah yang menunjukkan kasih sayangnya secara langsung. Karenanya ketika ku tahu papa ternyata peduli dan perhatian kepadaku, membuat sesak dada ini. Di belakangku, papa yang kukira cuek ternyata tidak pernah absen menanyakan kabarku kepada mama setelah perbincangan kami berdua di telepon. Padahal aku jarang ingat untuk menanyakan kabarmu dan bahkan aku tidak berminat bicara padamu, Pa. Lagi, kutahui dari mama bahwa papa memarahinya karena tidak segera memenuhi inginku. Padahal aku tidak pernah memberitahukan inginku kepadaku papa. Seperti yang kubilang aku hanya menceritakannya kepada mama. Sungguh memalukan aku tak tahu ternyata kau sayang padaku Pa. Dan kejadian terakhirlah yang benar-benar membuatku haru. Hari itu adalah hari lahir mama. Dari Malang aku mengirim sebuah paket untuk Mama di Denpasar. Paket itu berisi baju untuk Mama dan Papa, vitamin, dan brownis kesukaan mama, dan tak lupa untaian puisi yang aku beri fotoku dengan adik di lembarnya. Intinya itu merupakan paket hadiah ulang tahun untuk Mama, hanya saja aku memberikan untuk papa juga. Beberapa hari kemudian mama baru sempat menelepon untuk mengucapkan terima kasih atas hadiah kecilku. Mama menceritakan betapa senangnya papa atas baju yang kuberikan. Papa langsung memakainya hari itu dengan senyum khas sumringahnya. Katanya ia suka sekali. Mama bilang bahkan setelah dilaundry Papa memakainya lagi dan lagi, selalu mencari baju itu ketika tidak ada. Baju itu langsung jadi favoritnya. Terima kasih, pa karena sudah suka. Maaf karena selama beberapa bulan aku bekerja tidak ada yang aku berikan untukmu. Bahkan hanya satu pakaian itu papa sudah begitu bahagia. Maaf sekali pa.
Tidak seperti Ibu yang senantiasa selalu menampilkan kasih sayangnya, seorang Ayah menyayangi dalam diam. Ayah diam-diam mengawasi, memperhatikan, dan menjagaku. Ayah yang diam-diam mengusap tangis disaat hari kelulusanku. Ayah yang diam-diam mengulurkan tangan pertolongannya lewat Ibu. Ayah yang diam-diam juga sakit hatinya ketika memarahiku. Ayah yang tidak pernah mengharap aku mengetahui semua kebaikannya dan hanya ingin melihat kebahagiaanku. Ya, dia ayahku. Memang Ayahku bukanlah seorang yang spesial di mata orang lain. Ayahku hanya spesial di mata kami. Aku (mulai sekarang), mama dan adikku.